AL FATH
‘ Menjadi kuat bisa darimana saja. Bahkan ketika kau terjatuh, kau telah
selangkah lebih maju dari orang di sekitarmu.’
Senja digantikan oleh langit malam, matahari
sudah bergeser dan digantikan oleh bulan.
Di
sebuah ruangan dokter, seorang wanita berkerudung hijau motif dengan jas
dokternya berdiri di samping jendela. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu,
dia sedang memikirkan pelanggan pasiennya yang semakin hari semakin berkurang.
Wanita itu bernama Anindya Aisya Al
Mumtaza, dia seorang dokter umum di Rumah Sakit Bakti Husada. Dia juga
penghafal Al Qur’an, dia menghafal Al Qur’an di Pondok Pesantren Putri Al Fath.
Suara adzan maghrib berkumandang. Anin yang
seorang dokter hafidzoh mendengarkan dengan seksama adzan dan menjawabnya.
Untuk merefresh fikirannya, Anin sadar bahwa mungkin Allah SWT. mengingatkannya
untuk melaksanakan sholat terlebih dahulu.
Akhirnya Anin menuju ke masjid dekat
dengan rumah sakit untuk melaksanakan sholat jama’ah. Setelah selasai sholat ,
dia dzikiran dan berdo’a kepada-Nya. Supaya diberikan jalan keluar untuk
masalah yang sedang dia hadapi sekarang. Anin melihat ada Al Qur’an di
lemari. Anin meminjam Al Qur’an itu dan kembali duduk di tempat semula.
Tiba-tiba, Anin teringat bayangan masa
lalunya di Pesantren tentang amalan membaca surat Al Waqi’ah pada setiap malam.
Memorinya kembali 8 tahun yang lalu.
***
Suasana di halaman Pondok Pesantren
Putri Al Fath sore ini lumayan ramai, karena dipenuhi oleh santri-santri yang
piket harian dan beberapa santri yang berbincang-bincang di ruang tunggu.
Di ruang tunggu, Naila sedang duduk di
sebuah kursi dengan buku di tangannya dan sesekali melihat pemandangan langit
pada sore hari ini. Aku segera menghampirinya karena teringat bahwa dia masih
punya hutang bercerita kepadaku.
“Nai, katanya kamu tadi ingin cerita, memangnya
mau cerita apaan ?.” Tanyaku pada Naila yang sedang menulis sesuatu.
“Sini duduk dulu nin, Aku ingin cerita tentang kemarin pas perpulangan.
Tapi jangan dibilangin siapa – siapa
ya, janji.”
“Iya, insyaallah.”
“Alhamdulillah nin, yang kutunggu datang juga.” Ucapnya antusias.
“Apaan memangnya, oh…. Jangan-jangan udah punya kenalan cowok ya ?.” Tanyaku
memastikan.
“Iya nin, kan ada temen sekolahku SMP dulu punya temen cowok terus aku
dikenalin. Tapi aku bersikap biasa aja. Sebenarnya aku seneng banget bisa
ngerasain chatting-an sama cowok. Aku berusaha menetralisir rasa senangku ini.
Ternyata chatting-an sama cowok tuh seru. Kalau aku mau sharing pasti dikasih
solusi yang paling tepat.”
“Rata-rata kalau cewek sharing ke cowok, apalagi kalau cowoknya nyaman
banget diajak bicara. Terus cowok nggak mudah kebawa perasaannya saat diajak
sharing, betul kan ?.”
“Wah… kamu kok tahu nin, kamu pernah punya temen cowok di medsos, ya ?.”
“Nggak tuh, aku gak punya kenalan cowok di medsos dan belum pernah
ngerasain sharing ke cowok. Ya sudah Nai, aku mau pulang dulu. Kamu pulang
sekarang apa nanti ?.” Ucapku.
“Kamu pulang duluan aja, Aku masih ngerjain tugas. Thanks Nin, udah mau
dengerin ceritaku sore ini.”
“Oke….”
‘Gimana nggak tahu, di kamar aja juga ngomongin cowok.’ Batinku sambil
meninggalkan ruang tunggu.
Malamnya, para santri mengikuti
pembelajaran madin dan memasuki kelasnya masing-masing. Aku dan Naila sudah
memesan tempat duduk depan sendiri, karena ini adalah pelajaran yang paling
kami sukai, yaitu Mabadi Fiqih. Ustadz yang mangajar yaitu Ustadz Wahyu.
Selesai pembelajaran, Ustadz Wahyu bercerita tentang amalan membaca
surat Al Waqi’ah pada setiap malam. Ustadz dawuh bahwa
‘Barang siapa yang membaca surat Al
Waqi’ah setiap malam, dia tidak akan menderita kemiskinan. Dan bila surat
ini dibaca 14 kali setelah melaksanakan sholat isya’ maka akan diberikan
kekayaan yang melimpah ruah. Dan jika surat ini dibaca sebanyak 41 kali maka
senantiasa akan dikabulkan semua keinginannya dalam bentuk rezeki.’
Sebenarnya,
tidak ada doa khusus yang harus dibacakan sesudah membaca surah Al Waqi’ah.
Sebab semua doa adalah baik dan kita bisa menyesuaikan dengan kemampuan
masing-masing. Biasanya setelah membaca surat ini, aku membaca dzikir dan
sholawat kepada nabi. Tak lupa juga aku memohon kepada Allah SWT. supaya
rezekiku lancar, diberi rezeki yang barokah, dan terhindar dari kefakiran.
Aku penasaran ingin mencoba, katanya sudah
banyak diamalkan oleh para ulama terdahulu dan amalan ini sangat manjur. Aku
mengambil Al Qur’an terjemahan dan melihat arti yang terkandung dalam surat
tersebut. Subhanallah, artinya sangat indah. Di sini dijelaskan tentang
terjadinya hari kiamat. Dan manusia dibagi menjadi 3 golongan, yaitu golongan
kanan, golongan kiri, dan orang-orang yang paling dahulu beriman. Di sini juga
digambarkan kenikmatan surga dan kesengsaraan di neraka.
Di sini
dijelaskan bahwa Allah SWT. Telah memberi kenikmatan kepada manusia berupa
rezeki, tetapi mengapa manusia tidak mau bertasbih kepada-Nya dan
mendustakan-Nya. Golongan kanan akan memperoleh ketentraman, rezeki, serta surga.
Sedangkan golongan kiri akan disambut siraman air yang mendidih dan di bakar di
dalam neraka.
Sebagai seorang
hamba Allah SWT. Kita harus bersyukur dan jangan pernah mendustakan-Nya. Karena
sudah dijelaskan bagi para pendusta hukuman di akhirat nanti.
Karena setelah sholat isya’ ada bimbingan
tahfidz, aku mengamalkannya setelah selesai tahfidz.
Bel tahfidz berbunyi, seluruh santri
segera memasuki kelasnya masing-masing. Bimbingan tahfidz pun dimulai.
Di
Pesantrenku progamnya adalah Tahfidzul Qur’an. Jadi, semua santri di Pesantren
ini wajib menghafal Al Qur’an. Di Ponpes Putri Al Fath ini, ada metodenya
sendiri untuk menghafal. Setiap malam itu hafalannya 1/2 halaman, mulainya dari
jam 8 sampai jam 9 malam. Mengapa hafalannya kok malam, tidak pagi atau
sore….?. Karena pagi itu waktunya dibuat setoran dan pemantapan, sedangkan
sorenya dibuat muroja’ah.
Pemantapan itu, pagi jam 5 mengulang
hafalan yang sudah dihafalkan pada malamnya. Metodenya sama seperti tambahan
malam, yaitu dengan membaca terlebih dahulu keseluruhan 1/2 halamannya, setelah
itu membaca satu waqofan dulu sebanyak 3x secara bersama-sama satu kelas,
kemudian membaca ayat yang sudah dihafalkan itu sebanyak 3x juga, tetapi Al
Qur’annya ditutup. Sedangkan nanti jam 6, baru kita setoran. Dan setorannya
yang menyimak adalah abah langsung. Setiap setoran entah kenapa selalu ‘ndredeg’ (gugup), padahal sudah empat
tahun berjalan ini aku disini. Setiap berhadapan dengan abah selalu ‘ndredeg’, aku takut kalau sampai
mengulang.
Pernah suatu saat aku setoran,
padahal sebelum maju ke mimbar, Alhamdulillah lancar disimak temanku.Tapi
setelah aku maju mau membaca,entah kenapa aku lupa awal ayatnya. Aku bingung
mau membaca apa kalau dari awal saja sudah lupa . Rasanya gambaran tentang ayat
yang kuhafal itu blank (hilang)
semua. Untung saja teman yang mengantri di belakangku segera memberitahuku awal
ayatnya. Tapi setelah menginjak ayat kedua aku lupa lagi awal-awalannya. Dan
setelah itu karena aku macet-macet bacanya alias setengah lupa atau bisa
dibilang sudah blank semua, abah mengutusku untuk mengulang lagi, aku disuruh
mundur. Karena juga kasihan yang mengantri dibelakangku sudah menunggu lama.
Bel
Alhamdulillah berbunyi, guru pembimbing pun meninggalkan kelas, lalu disusul
oleh beberapa santri yang ingin cepat kembali ke kamar karena sudah mengantuk
atau ada keperluan sesuatu. Ada juga yang masih ingin tetap dikelas sambil
berbincang-bincang atau minta disimakkan
tambahan malam ini.
Aku
menghampiri Naila yang sedang berbincang-bincang dengan Amna.
“Nai, kamu masih lama nggak ?.” Tanyaku
pada Naila.
“Nggak kok, ini sebentar lagi juga selesai.”
“Kamu ada janjian ya, sama Naila ?. Maaf Nin, udah mengundur waktunya.” Ucap Amna dengan nada rasa bersalah.
“Udahlah, nggak papa.”
“Ya
sudah, aku pulang dulu.” Ucap Amna.
Aku dan Naila membaca surat Al Waqi’ah
bersama-sama, karena satu jam lagi bel istirahat berbunyi, kami membacanya
dengan tempo yang standar.
***
Pagi ini entah kenapa mood-ku
sedang memburuk. Setelah setoran, aku segera mandi, sarapan, dan menyiapkan
buku untuk persiapan sekolah. Pukul 7 lebih tiga puluh menit bel sekolah
berbunyi. Semua santri yang bersekolah berhamburan memenuhi halaman untuk
melaksanakan apel terlebih dahulu. Setelah apel, semua santri yang bersekolah
memenuhi kelasnya masing-masing.
Tak lama kemudian Bu Ida, guru Bhs.Indonesia
SMA memasuki kelas dan memberitahu bahwa akan ada lomba menulis puisi yang akan
diadakan di SMA Muhammadiyah.
Dua jam kemudian, bel sholat
dhuha berbunyi pertanda pembelajaran sudah selesai. Siswi-siswi yang tidak
berhalangan berhamburan keluar kelas dan mengambil wudhu untuk persiapan sholat
dhuha berjama’ah.
Karena di Pondokku ini tidak
ada santri laki-lakinya, maka yang mengimami sholat adalah santri putri dan
digilir per kelas. Per kelas itu menurut nomor absen. Dan hari ini aku
berhalangan. Mungkin ini salah satu penyebab mood-ku memburuk.
Alhamdulillah, meskipun aku
jarang sholat jama’ah di musholla, tidak pernah mempunyai hutang sholat,
Na’udzubillah. Syukurlah ada ukhti –
ukhti (kakak – kakak perempuan) yang mengingatkanku untuk segera sholat.
Saat jam sholat dhuha, aku segera menuju ke
kantin untuk membeli makanan secukupnya agar bisa mengisi perutku yang sudah
minta demo. Aku ke kantin lebih awal karena keburu ramai, aku paling benci
kalau berdesak – desakan di kantin dan bayarnya harus ngantri. Tapi, juga
namanya anak pondok. Nggak seru kalau nggak ada yang namanya ‘Ngantri’.
Waktu menunjukkan pukul 11
siang, bel masuk kelas berbunyi pertanda jam istirahat selesai. Siswi-siswi
yang selesai sholat dhuha dan menghabiskan waktu ke kantin atau hanya sekedar ngopi (ngobrol inspirasi) karena lagi
puasa, memasuki kelasnya masing-masing karena pembelajaran akan dimulai lagi
sampai pukul 12 siang, setelah itu sholat dhuhur, dan dimulai lagi sampai pukul
2 siang.
Tiba-tiba Dilla memukul ringan
pundakku dari belakang.
“Nin, nanti apa ada pemberitahuan
poin denda sholat bulan ini ?.”
“Dengar-dengar iya, tapi nggak tahu
juga. Aku nggak mau ngomongin itu Dil, sesak rasanya.Aku jarang sholat
berjama’ah, itupun kalau disuruh atau pas kebetulan ada syetan baik yang nempel
dipundakku.”
***
Di lobi kamar blok Aisyah atau blok kamar
bawah, terlihat segerombolan santri sedang berdesak-desakan untuk mencapai
depan sendiri agar bisa melihat pengumuman. Em…. Bukan pengumuman, lebih
tepatnya pemberitahuan poin denda sholat.
Karena aku malas berdesak-desakan, aku
menunggu keadaan mulai sepi sambil berbincang-bincang dengan Naila. Naila
sepertinya denda sholatnya cuma sedikit, karena dia rajin jama’ah ke musholla,
atau malah tidak punya denda sholat sama sekali….?. Wah…., aku kagum padanya
yang rajin jama’ah.
Setelah keadan mulai sepi, aku segera
melihat kertas papan mading yang bertuliskan’Denda Sholat Bulan Maret’. Aku pun
mencari namaku, tanganku menelusuri kertas di depan dan, Yap… ketemu. Betapa
terkejutnya aku, poinku adalah 8. Eits…. Tapi jangan kira ini sedikit, sekarang
mari kita hitung.
8 X 5000 = 40.000.
“Masyaallah, sedikitnya poinku,
kalau begini terus bisa-bisa uang jajanku berkurang hanya untuk membayar denda
sholat.” Ucapku lirih sambil mengelus dada.
“Sudahlah nin, masih mending kamu
8. Lihat nih punyaku 12 poin X 5000 = 60.000. Masih mendingan kamu kan ?.” Ucap
Intan.
“Ini tidak bisa dikurangi apa
dendanya? Kalau begini terus nanti pengurus Sie Keibadahan untung banyak dong!.”
“Nin, sepertinya ini tidak bisa diganti,
kecuali kita lapor ke ning Aina (“ning” yaitu sebutan untuk putri Bu Nyai)
supaya ning Aina melaporkan ke Bu Nyai. Sie Keibadahan tidak boleh semena-mena
sama rakyatnya sendiri.”
“Tapi kita cuma bisa apa, pengurus
saja bukan. Sudahlah kita terima keputusan ini dulu, anggap saja sebagai bentuk
sedekah kita. Yah…. Semoga saja nanti ada pemberitahuan lagi agar denda per
sholatnya dikurangi.”
“Amin…..” Ucap Intan lirih.
Beberapa menit kemudian,terdengar
murrotal isya’. Subhanallah, suara Syaikh Misyari Rasyid Al Afasy mengalun
begitu merdu dalam membacakan surat Al Insan.
Aku naik ke lantai atas dan menuju kamar
untuk mengistirahatkan sebentar kakiku yang sedikit pegal-pegal. Aku
mempersiapkan tambahan untuk nanti dan minta tolong Fatma membacakan setengah
halaman dari Surat Thaha. Yakni ayat 22-37.
Di sini kalau lagi berhalangan atau
haidh, tetap bisa menghafalkan Al Qur’an dengan catatan harus dibacakan dulu
oleh teman kita, tapi pilih teman yang hafalannya sama dengan kita. Setelah itu
kita menyimak dengan seksama ayat-ayatnya.
Tetapi tetap tidak boleh membaca surat
atau ayat yang belum kita hafalkan. Dan semua santri disini yang berhalangan
memakai Al Qur’an tafsir arab.
berkumandang aku menyebut nama
orang yang aku kangeni. Kata ustadzahku, barang siapa yang menyebutkan nama
orang yang kita kangeni dengan berteriak ketika lafadz ini berkumandang, maka orang
yang kita sebut namanya juga akan mendengar panggilan kita.
Selesai adzan, tak lama kemudian
terdengar suara kentong (pertanda
iqomah berkumandang). Semua santri yang sudah mengambil wudhu, segera memenuhi
musholla untuk melaksanakan sholat isya’ berjama’ah.
Selesai sholat, tak lama kemudian bel
bimbigan tahfidz berbunyi, seluruh santri segera memasuki kelas tahfidznya
masing-masing dan siap untuk menambah.
Target hafalan pencapaian di Ponpes
Putri Al Fath ini adalah 15 juz dalam waktu 3 tahun dan 30 juz dalam waktu 6
tahun. Alhamdulillah…. dalam waktu empat tahun ini aku sudah menghafal sesuai
dengan target. Tapi, tantangannya kita harus menjaga hafalan yang sudah
dihafalkan, dan itu tak semudah menambah hafalan baru.
Dengan adanya kesibukan di sekolah,
muroja’ah pun jadi sedikit terganggu. Oleh karena itu, Ibuk menempatkan jadwal
muroja’ah atau mengulang hafalan yang sudah dihafalkan di sore hari. Waktunya
pun juga terbatas hanya satu jam.
Oleh karena itu, diadakan evaluasi
deresan mingguan dan bulanan. Evaluasi mingguan dilakukan setiap minggunya,
sedangkan evaluasi bulanan dilakukan setiap 6 bulan sekali, yaitu dengan diadakan
ujian tahfidz.
***
Sarapan nasi tempe dengan sambal tomat
yang dituang di atasnya dan mentimun sebagai pelengkap menu pagi ini membuatku
sangat lahap makan.
Seperti biasa, setelah sarapan aku
menyiapkan buku pelajaran. Dan tepat pukul tujuh lebih tiga puluh menit, aku
turun untuk apel terlebih dahulu dan masuk kelas. Kebetulan kelasku berada di
lantai bawah, tempatnya strategis karena dekat dengan kantor guru, musholla, perpustakaan,
dan kantin. Jadi, mudah banget kalau mau
apa-apa tidak jauh juga dari kelas.
Ketua kelasku mengumumkan bahwa hari
ini Bu Nabilla, guru mapel Seni Budaya tidak bisa rawuh (datang) dikarenakan anaknya lagi sakit.
Tiba-tiba Zahro’ menghampiriku dengan
sedikit tergesa-gesa.
“Anin, kamu dipanggil Mbak Nadia,
ditunggu di depan kelas, cepetan katanya.”
“Ya udah, thanks ya ro’.”
Tumben Mbak Nadia nyariin aku….?
“Ada apa Mbak Nad ?.” Tanyaku penasaran.
“Anin, kita ditimbali Ibuk sekarang
juga, ayo cepetan sudah ditunggu.”
Aku mengikuti langkah Mbak Nadia yang
berjalan ke arah ndalem (rumah Bu
Nyai). Aku berdo’a dalam hati semoga tidak terjadi hal-hal yang buruk kepadaku
‘Lahaulawalaquwwata illabillah’.
Aku dan Mbak Nadia sudah berada di
depan pintu ndalem, di situ sudah ada Ibuk Nyai yang duduk dengan membawa
kertas di tangannya.
“Assalamu’alaikum wr.wb.”
“Wa’alaikumussalam wr.wb, sini nduk (sebutan anak perempuan) masuk dulu.”
Aku pun duduk di karpet bawah dengan
Mbak Nadia disampingku.
Suasana hening sebentar
“Anin, sampean umure berapa….? (kamu umurnya berapa…?).”
“Kula
(saya) 15 tahun.”
“Sampean Nadia, umure
berapa…?.”
“Kula 18 tahun.”
“Anin, Nadia. Ini sebentar lagi ada
lomba MTQ yang diadakan di MAN Kota. Kalian saya panggil di sini untuk
mengikuti lomba MHQ. Anin, sampean ikut yang 10 juz, sedangkan Nadia ikut yang
20 juz.”
Aku dan Mbak Nadia tidak berani angkat
bicara, kami hanya menunduk. Menunggu Ibuk dawuh
(berkata) lagi.
“Ini lombanya tanggal 4 September,
sekarang tanggal 24 Agustus, berarti kurang berapa hari ?.”
“Kirang
(Kurang) 20 hari, buk.” Jawab Mbak Nadia.
“Waktu 20 hari ini sampean gunakne
sebaik mungkin kanggo muroja’ah, nanti kalau sudah H-5 sampean nggak perlu ikut
kegiatan pondok untuk sementara. Setiap pagi muroja’ahe dek sini saja, nanti
kalau sudah selesai akan ibuk bedeki kalian dengan sambung ayat.”
“Enggeh
(Ya).” Jawab kami bersamaan.
“Ya sudah, kalian boleh kembali ke kelas
lagi.”
Kami mencium tangan ibuk secara
bergantian dan mengucap salam, lalu keluar dari ndalem.
“Mbak Nad, ini aku dikasih
amanat sama ibuk, nanti kalau aku nggak bisa gimana ?.”
“Kamu jangan berpikir pesimis dulu, kan
belum dijalani. Sudahlah jalani aja dulu.”
“Oke, aku harus optimis.Bismillahirrohmanirrohim.”
“Nah, gitu dong. Ya sudah aku masuk kelas
dulu, nanti kalau ada informasi lagi, hubungi Mbak Nadia.”
“Oke.”
Aku memasuki kelas dan ternyata Pak
Eko, guru MTK SMA sedang menuliskan rumus di papan tulis.
***
Hari-hari telah ku jalani, setiap sore hari aku dan Mbak Nadia dilatih
sambung ayat oleh ibuk. Tak lupa juga aku membaca amalan surah Al Waqiah yang
sudah lama ini tidak kubaca, karena salah satu manfaatnya adalah dikabulkan doanya
yang berkaitan dengan rezeki. Siapa tau saja aku nanti menang dan itu merupakan
salah satu bentuk rezeki yang diberikan oleh Allah SWT untukku. Tetapi
seharusnya aku meniatkan lomba ini untuk dakwah dan mencari ridho illahi bukan
hanya untuk mencari kemenangan saja.
Waktu sambangan
(kunjungan keluarga), aku memberitahu bundaku perihal lomba ini. Bunda
menasehatiku bahwa ‘menang kalah dalam suatu perlombaan itu wajar, sampean
jangan mikir aku harus menang, tapi berpikirlah bahwa mencari ridho Bu Nyai itu lebih penting.’
Hingga tiba saatnya besok mengikuti lomba, semalaman aku yang biasanya
tenang menghadapi apa saja menjadi gelisah. Karena banyak teman yang
mengharapkan kemenangan dariku dan mbak Nadia.
Tibalah hari ini lombanya dimulai, aku
dan Mbak Nadia diantarkan ke sebuah ruangan, dimana disitu cabang MHQ diadakan.
Alhamdulillah,
aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sambung ayat dari dewan juri dengan
lancar. Tinggal menunggu pengumuman menang dari panitia. Pengumuman pemenang
lomba dibacakan pada penutupan MTQ di panggung utama. Saat panitia menyebutkan
pemenang pada cabang MHQ, aku memperbanyak sholawat dan dzikir.Ada rasa takut
menyergapi dada. Takut kalau nanti pengumumannya mengecewakan ibuk dan bundaku.
“Juara 3 MTQ cabang MHQ 10 juz
adalah Kayla Nisrina. Juara 2 MTQ cabang MHQ 10 juz adalah Muhammad Ardiansyah.
Juara 1 MTQ cabang MHQ 10 juz adalah Anindya Aisya Al Mumtaza.”
“ Alhamdulillah bunda, aku
mendapatkan juara 1. Terima kasih Ya Allah, engkau telah mengabulkan doa hamba,
kedua orang tua hamba, dan guru-guru hamba.”
Alhamdulillah aku mendapatkan piala,
piagam, dan uang pembinaan.
***
1 Tahun Kemudian…..
Mbak Ilma memberitahuku bahwa aku dan
Mbak Nadia ditimbali Ibuk. Aku segera menghampiri Mbak Nadia dan menuju ndalem. Dari depan pintu, terlihat Ibuk
sedang muroja’ah. Ibuk yang menyadari kedatangan kami, menghentikan
aktifitasnya dan meminta kami untuk masuk.
Kami mengucap salam lalu masuk ndalem dan duduk di karpet. Terlihat
sebuah undangan di tangan beliau, ternyata undangan itu ditujukan kepada kami.
Ibuk menyerahkan undangan tersebut kepada kami.
“Nduk
(Panggilan untuk anak perempuan), ini sampean dapat undangan dari Pemerintah
Kota Malang untuk mengikuti pembinaan tahap satu dan seleksi di Pondok Pesantren Deen Assalam.”
Hening……
Terlihat ibuk yang menahan nafas dan
menghembuskannya perlahan.
“Tapi, umur kamu Anin sudah tidak
memenuhi kriteria. Karena umur kamu 15 tahun lebih 4 bulan. Sedangkan batas
maksimalnya adalah 15 tahun kurang 1 hari. Dan kamu Nadia, umur kamu 18 tahun
kurang 2 bulan, sedangkan batas maksimalnya adalah 17 tahun kurang 1 hari.
Tetapi, sampean di undangan ini diusahakan mengikuti pembinaan. Jangan lupa
untuk muroja’ah lagi, ibuk tidak bisa menyimak, jadi kalian latihan sendiri.
Dan akte kelahiran sama piagam yang kemarin di foto copy dulu.”
“Nggeh.” Jawab kami bersamaan.
Aku menangkap raut wajah beliau menjelaskan
bahwa beliau sebenarnya tidak mengizinkan aku dan Mbak Nadia untuk mengikuti
pembinaan ini, ada sesuatu hal yang disembunyikan dari beliau. Tapi aku harus optimis, tadi aja ibuk sudah mengizinkan, jadi
aku tidak boleh menyia-nyiakannya, aku tidak boleh mengecewakan beliau.
Aku kembali mengamalkan bacaan
surah Al Waqi’ah yang sudah lama ini tidak kubaca.
Hingga tiba saatnya hari ini
pembinaan diadakan di Pondok Pesantren Deen Assalam. Pembinaannya selama 2 hari.
Di hari pertama pembinaan, peserta diberi pengarahan tentang seleksi yang akan
diadakan pada keesokan harinya. Dan di dalam pengarahan ini, diberitahukan
bahwa maqro’ yang digunakan untuk MHQ 10 juz tilawah adalah juz 1-10.
Sedangkan maqro’ yang kupelajari adalah surah Al Hijr juz 14. Bagaimana
ini……..? Tanyaku pada diri sendiri. Aku bingung harus bagaimana, aku juga tidak
bisa dalam hal maqro’ karena ini bukan bakatku.
Selesai pengarahan, peserta disuruh Ishoma (Istirahat, sholat, dan makan)
terlebih dahulu. Aku menghampiri Mbak Nadia yang sedang berbincang-bincang
dengan seseorang di depan asrama putri.
“Anin, perkenalkan ini Firda, dia
temenku di SMP dulu.”
Aku pun menjabat tangannya.
“Anin, adik kelasnya Mbk. Nadia.”
Jawabku.
“Mbk. Nad, gimana ini maqro’nya
harus juz 1-10 untuk MHQ 10 juz, sedangkan yang ku bisa hanya surah Al Hijr
ayat 1-8.”
“Aku juga tidak terlalu tahu tentang
maqro’, yang ku bisa hanya surah Al Mu’minun ayat 1-6.”
“Bagaimana kalau Anin pinjem Handphone
ku dulu buat cari maqro’, mumpung paketanku masih banyak.”
“Iya nin, pinjam Firda dulu, besok
sudah harus tampil, kan ?.”
“ Ya sudah kalau begitu, terima kasih
ya, Mbak Firda.”
Tak lama kemudian, para peserta disuruh masuk
ruangan lagi untuk pembinaan lagi.
Para peserta diuji satu-satu untuk
latihan dan ditampilkan didepan juri dari Pemerintah Kota Malang.
Sedangkan besok adalah seleksi yang sesungguhnya dari provinsi langsung.
Aku untuk sementara ini menggunakan
surah Al Maidah ayat 90-91. Aku sudah tidak memikirkan lagi ini betul apa
salah, yang terpenting aku sudah maju. Lagian ini nanti juri juga akan
mengoreksi dan mengomentari mana yang salah dan mana yang betul agar besok
sudah siap untuk tampil di depan juri dari provinsi.
Saat giliran aku maju, aku segera
menempati kursi yang ada di depan juri. Aku membacakan surah Al Maidah yang
tadi. Menginjak ayat pertama, juri berkata ‘Itu bukan qiro’.’ Aku tidak faham
apa yang dimaksud juri, mungkin juri memintaku mengulang dari awal. Aku pun
mengulang dari awal, belum sampai waqof kedua, lagi-lagi juri berkata ‘itu
bukan qiro’.’ ‘Sebenarnya apa sih yang dimaksud jurinya ?. Aku nggak faham.’
Batinku sambil memandang ke juri.
Akhirnya juri pun menyuruh aku
melanjutkan saja bacaannya. Setelah bacaanku selesai, juri membacakan ayat
untuk sambung ayat dan aku meneruskan lanjutannya. Ada tiga soal sambung ayat,
di soal pertama Alhamdulillah lancar, di soal kedua aku lupa terusannya ‘apa
mungkin ini efek yang tadi ?.’ Tanyaku pada diri sendiri.
Juri mengulang lagi soalnya, tapi percuma
saja aku tetap tidak bisa menjawab karena sekarang suasana hatiku sudah sangat
buruk. Dan di soal yang ketiga, aku menjawab tapi sedikit terbata-bata. Kalau
boleh meminta, aku ingin menangis sekarang juga di depan juri. Tapi aku nggak
boleh terlihat lemah di depan juri, aku harus kuat. ‘Ya Allah, apakah ini
bentuk cobaan yang Engkau berikan kepadaku ?.’ Tanyaku dalam hati.
Setelah itu juri memberi
komentar kepadaku bahwa ternyata yang kubaca tadi bukan qiro’ melainkan
tilawah.
Juri juga bertanya “Sampean yang juara
satu tahun kemarin ?.”
Aku hanya menjawab “Nggeh.”
Tapi aku tahu, bahwa juri bertanya demikian dengan nada meremehkan.
Setelah juri selesai mengoreksi, aku keluar dari kelas dan duduk di teras
musholla. Di sini, aku sudah nggak bisa menahan air mataku yang ingin jatuh. Aku
menangis, tapi aku mencoba mengontrol agar tidak ada yang tahu bahwa aku sedang
menangis.
Tak lama kemudian, ada yang memegang
pundakku dari belakang, aku tahu ini
pasti Mbak Nadia. Dia mengambil duduk disampingku dan menenangkanku.
“Mbak Nad, gimana ini aku takut
mengecewakan ibuk.” Ucapku sambil sesenggukan.
“ Sudahlah untuk apa ditangisi,
menangis tidak akan menyelesaikan masalah.
Ingat, jika kau gagal mungkin Allah
sudah menyiapkan yang lebih baik untukmu. Mendingan sekarang kamu pinjam Hp
Firda untuk cari maqro’, sekarang dia ada di asrama.”
“Terima kasih ya Mbak Nad.”
Malamnya, aku tidak bisa tidur karena
memikirkan maqro’ yang harus kuhafalkan. Tinggal beberapa orang yang belum
tidur, aku mendengarkan qiro’ surah Al Baqoroh ayat 1-5. Setelah dirasa cukup,
aku mengambil Al Qur’anku di meja dan membaca surah Al Waqi’ah sambil
menghayati. Tak terasa air mataku jatuh tanpa bisa dibendung, untung saja semua
sudah tidur. Aku sadar bahwa mungkin ini bukan rezekiku, aku yakin Allah pasti
akan membalas dengan yang lebih baik. Sekarang aku sedang diuji untuk bersabar,
aku berdo’a kepada Allah SWT. supaya besok pembinaan berjalan dengan lancar. Jam dinding
menunjukkan pukul 12.30, aku beranjak tidur.
Keesokan harinya, tibalah semua peserta
untuk di seleksi oleh juri dari provinsi. Saat giliranku tiba, aku menampilkan
qiro’ yang sudah aku pelajari sendiri kemarin malam. Aku hanya bisa menjawab 3 dari 5 soal sambung ayat. Alhamdulillah, setidaknya bisa menjawab meskipun tidak semuanya.
Aku tahu mungkin kali ini aku tidak lulus seleksi, karena belum ada persiapan sama sekali untuk latihan qiro'. Selain itu, muroja'ahku juga kurang. Ingat pesannya Mbak Nadia, pasti Allah sudah menyiapkan yang terbaik untukku.
Aku juga teringat raut wajah ibuk saat dawuh kemarin lusa. Apa ini perwujudan dari tanda raut wajah beliau ?.
Aku tahu mungkin kali ini aku tidak lulus seleksi, karena belum ada persiapan sama sekali untuk latihan qiro'. Selain itu, muroja'ahku juga kurang. Ingat pesannya Mbak Nadia, pasti Allah sudah menyiapkan yang terbaik untukku.
Aku juga teringat raut wajah ibuk saat dawuh kemarin lusa. Apa ini perwujudan dari tanda raut wajah beliau ?.
Selesai pembinaan, aku dan Mbak Nadia
sudah dijemput oleh ustadzahku. Kami pun langsung pulang, ada perasaan lega
yang menyergapi dada. Entah lega karena pembinaan sudah selesai atau karena
tadi aku menjawab dengan lancar.
Hari ini, ada sambangan di pondokku. Sesampainya di pondok, aku mencari
keluargaku di mana sekarang sudah menunggu. Ternyata mereka ada di musholla,
aku segera menghampiri. Aku menjabat tangan bunda dan ayah, setelah itu aku
menceritakan pengalamanku kemarin.
Bunda berpesan kepadaku “ Kegagalan
itu ada bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dipelajari. Lihatlah orang di atasmu
agar kamu terinspirasi dan lihatlah orang di bawahmu agar kamu bersyukur. Jangan
lupa untuk selalu muroja’ah meskipun lombanya sudah selesai. Dan carilah ridho
Bu Nyai sebanyak-banyaknya, itu kunci sukses kamu di masa depan.”
Aku bisa belajar dari pengalamanku kemarin ‘seberapa
berat rintangan yang kita hadapi, jangan pernah menyerah. Tunjukkan pada dunia
bahwa kamu bisa dan carilah ridho Bu Nyai sebanyak-banyaknya, karena kalau beliau ridho, hidupmu akan tenteram.'
***
Anin pun membaca surah Al Waqi’ah dan
menghayatinya. Tak terasa air matanya jatuh, dia teringat pesan bundanya.
Sekarang dia sadar bahwa selama ini sholat dan muroja’ahnya selalu lalai,
karena kesibukannya. Dia memohon ampunan kepada Allah, dan sekarang dia harus bisa
membagi waktu untuk bekerja dan muroja’ah. Dia juga bersyukur kepada Allah SWT.
karena sudah memberikan nikmat yang sangat berlimpah kepadanya. Dia sadar,
mungkin ini bentuk peringatan Allah SWT. karena sudah melalaikan sholat dan
muroja’ahnya, padahal dia sendiri seorang hafidzoh.
“Ya Allah, terima kasih Engkau telah
memberikan hamba kesempatan bertaubat kepada-Mu sebelum semuanya terlambat.”