Sunday, November 4, 2018

Cerpen Santri Keren "Al Fath"




                                                             AL FATH


   ‘ Menjadi kuat bisa darimana saja. Bahkan ketika kau terjatuh, kau telah selangkah lebih maju dari orang di sekitarmu.’
             Senja digantikan oleh langit malam, matahari sudah bergeser dan digantikan oleh bulan.
        Di sebuah ruangan dokter, seorang wanita berkerudung hijau motif dengan jas dokternya berdiri di samping jendela. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu, dia sedang memikirkan pelanggan pasiennya yang semakin hari semakin berkurang.
       Wanita itu bernama Anindya Aisya Al Mumtaza, dia seorang dokter umum di Rumah Sakit Bakti Husada. Dia juga penghafal Al Qur’an, dia menghafal Al Qur’an di Pondok Pesantren Putri Al Fath.
       Suara adzan maghrib berkumandang. Anin yang seorang dokter hafidzoh mendengarkan dengan seksama adzan dan menjawabnya. Untuk merefresh fikirannya, Anin sadar bahwa mungkin Allah SWT. mengingatkannya untuk melaksanakan sholat terlebih dahulu.
       Akhirnya Anin menuju ke masjid dekat dengan rumah sakit untuk melaksanakan sholat jama’ah. Setelah selasai sholat , dia dzikiran dan berdo’a kepada-Nya. Supaya diberikan jalan keluar untuk masalah yang sedang dia hadapi sekarang. Anin melihat ada Al Qur’an di lemari. Anin meminjam Al Qur’an itu dan kembali duduk di tempat semula.
      Tiba-tiba, Anin teringat bayangan masa lalunya di Pesantren tentang amalan membaca surat Al Waqi’ah pada setiap malam. Memorinya kembali 8 tahun yang lalu.
                                                  ***
       Suasana di halaman Pondok Pesantren Putri Al Fath sore ini lumayan ramai, karena dipenuhi oleh santri-santri yang piket harian dan beberapa santri yang berbincang-bincang di ruang tunggu.
       Di ruang tunggu, Naila sedang duduk di sebuah kursi dengan buku di tangannya dan sesekali melihat pemandangan langit pada sore hari ini. Aku segera menghampirinya karena teringat bahwa dia masih punya hutang bercerita kepadaku.
              “Nai, katanya kamu tadi ingin cerita, memangnya mau cerita apaan ?.” Tanyaku pada Naila yang sedang menulis sesuatu.
   “Sini duduk dulu nin, Aku ingin cerita tentang kemarin pas perpulangan. Tapi jangan dibilangin siapa – siapa ya, janji.”
   “Iya, insyaallah.”
   “Alhamdulillah nin, yang kutunggu datang juga.” Ucapnya antusias.
   “Apaan memangnya, oh…. Jangan-jangan udah punya kenalan cowok ya ?.” Tanyaku memastikan.
   “Iya nin, kan ada temen sekolahku SMP dulu punya temen cowok terus aku dikenalin. Tapi aku bersikap biasa aja. Sebenarnya aku seneng banget bisa ngerasain chatting-an sama cowok. Aku berusaha menetralisir rasa senangku ini. Ternyata chatting-an sama cowok tuh seru. Kalau aku mau sharing pasti dikasih solusi yang paling tepat.”
   “Rata-rata kalau cewek sharing ke cowok, apalagi kalau cowoknya nyaman banget diajak bicara. Terus cowok nggak mudah kebawa perasaannya saat diajak sharing, betul kan ?.”
  “Wah… kamu kok tahu nin, kamu pernah punya temen cowok di medsos, ya ?.”
  “Nggak tuh, aku gak punya kenalan cowok di medsos dan belum pernah ngerasain sharing ke cowok. Ya sudah Nai, aku mau pulang dulu. Kamu pulang sekarang apa nanti ?.” Ucapku.
  “Kamu pulang duluan aja, Aku masih ngerjain tugas. Thanks Nin, udah mau dengerin ceritaku sore ini.”
  “Oke….”
  ‘Gimana nggak tahu, di kamar aja juga ngomongin cowok.’ Batinku sambil meninggalkan ruang tunggu.
     Malamnya, para santri mengikuti pembelajaran madin dan memasuki kelasnya masing-masing. Aku dan Naila sudah memesan tempat duduk depan sendiri, karena ini adalah pelajaran yang paling kami sukai, yaitu Mabadi Fiqih. Ustadz yang mangajar yaitu Ustadz Wahyu.
       Selesai pembelajaran, Ustadz Wahyu bercerita tentang amalan membaca surat Al Waqi’ah pada setiap malam. Ustadz dawuh bahwa ‘Barang siapa yang membaca surat Al Waqi’ah setiap malam, dia tidak akan menderita kemiskinan. Dan bila surat ini dibaca 14 kali setelah melaksanakan sholat isya’ maka akan diberikan kekayaan yang melimpah ruah. Dan jika surat ini dibaca sebanyak 41 kali maka senantiasa akan dikabulkan semua keinginannya dalam bentuk rezeki.’
        Sebenarnya, tidak ada doa khusus yang harus dibacakan sesudah membaca surah Al Waqi’ah. Sebab semua doa adalah baik dan kita bisa menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Biasanya setelah membaca surat ini, aku membaca dzikir dan sholawat kepada nabi. Tak lupa juga aku memohon kepada Allah SWT. supaya rezekiku lancar, diberi rezeki yang barokah, dan terhindar dari kefakiran.
    
         Aku penasaran ingin mencoba, katanya sudah banyak diamalkan oleh para ulama terdahulu dan amalan ini sangat manjur. Aku mengambil Al Qur’an terjemahan dan melihat arti yang terkandung dalam surat tersebut. Subhanallah, artinya sangat indah. Di sini dijelaskan tentang terjadinya hari kiamat. Dan manusia dibagi menjadi 3 golongan, yaitu golongan kanan, golongan kiri, dan orang-orang yang paling dahulu beriman. Di sini juga digambarkan kenikmatan surga dan kesengsaraan di neraka.
          Di sini dijelaskan bahwa Allah SWT. Telah memberi kenikmatan kepada manusia berupa rezeki, tetapi mengapa manusia tidak mau bertasbih kepada-Nya dan mendustakan-Nya. Golongan kanan akan memperoleh ketentraman, rezeki, serta surga. Sedangkan golongan kiri akan disambut siraman air yang mendidih dan di bakar di dalam neraka.
          Sebagai seorang hamba Allah SWT. Kita harus bersyukur dan jangan pernah mendustakan-Nya. Karena sudah dijelaskan bagi para pendusta hukuman di akhirat nanti.  
     Karena setelah sholat isya’ ada bimbingan tahfidz, aku mengamalkannya setelah selesai tahfidz.
     Bel tahfidz berbunyi, seluruh santri segera memasuki kelasnya masing-masing. Bimbingan tahfidz pun dimulai.                                                                                                                                                            Di Pesantrenku progamnya adalah Tahfidzul Qur’an. Jadi, semua santri di Pesantren ini wajib menghafal Al Qur’an. Di Ponpes Putri Al Fath ini, ada metodenya sendiri untuk menghafal. Setiap malam itu hafalannya 1/2 halaman, mulainya dari jam 8 sampai jam 9 malam. Mengapa hafalannya kok malam, tidak pagi atau sore….?. Karena pagi itu waktunya dibuat setoran dan pemantapan, sedangkan sorenya dibuat muroja’ah.
              Pemantapan itu, pagi jam 5 mengulang hafalan yang sudah dihafalkan pada malamnya. Metodenya sama seperti tambahan malam, yaitu dengan membaca terlebih dahulu keseluruhan 1/2 halamannya, setelah itu membaca satu waqofan dulu sebanyak 3x secara bersama-sama satu kelas, kemudian membaca ayat yang sudah dihafalkan itu sebanyak 3x juga, tetapi Al Qur’annya ditutup. Sedangkan nanti jam 6, baru kita setoran. Dan setorannya yang menyimak adalah abah langsung. Setiap setoran entah kenapa selalu ‘ndredeg’ (gugup), padahal sudah empat tahun berjalan ini aku disini. Setiap berhadapan dengan abah selalu ‘ndredeg’, aku takut kalau sampai mengulang.
               Pernah suatu saat aku setoran, padahal sebelum maju ke mimbar, Alhamdulillah lancar disimak temanku.Tapi setelah aku maju mau membaca,entah kenapa aku lupa awal ayatnya. Aku bingung mau membaca apa kalau dari awal saja sudah lupa . Rasanya gambaran tentang ayat yang kuhafal itu blank (hilang) semua. Untung saja teman yang mengantri di belakangku segera memberitahuku awal ayatnya. Tapi setelah menginjak ayat kedua aku lupa lagi awal-awalannya. Dan setelah itu karena aku macet-macet bacanya alias setengah lupa atau bisa dibilang sudah blank semua, abah mengutusku untuk mengulang lagi, aku disuruh mundur. Karena juga kasihan yang mengantri dibelakangku sudah menunggu lama.
        Bel Alhamdulillah berbunyi, guru pembimbing pun meninggalkan kelas, lalu disusul oleh beberapa santri yang ingin cepat kembali ke kamar karena sudah mengantuk atau ada keperluan sesuatu. Ada juga yang masih ingin tetap dikelas sambil berbincang-bincang  atau minta disimakkan tambahan malam ini.    
       Aku menghampiri Naila yang sedang berbincang-bincang dengan Amna.
       “Nai, kamu masih lama nggak ?.” Tanyaku pada Naila.
       “Nggak kok, ini sebentar lagi juga selesai.”
       “Kamu ada janjian ya, sama Naila ?. Maaf Nin, udah mengundur waktunya.” Ucap Amna dengan nada rasa bersalah.
        “Udahlah, nggak papa.”
        “Ya sudah, aku pulang dulu.” Ucap Amna.
       Aku dan Naila membaca surat Al Waqi’ah bersama-sama, karena satu jam lagi bel istirahat berbunyi, kami membacanya dengan tempo yang standar.

                                               ***
               Pagi ini entah kenapa mood-ku sedang memburuk. Setelah setoran, aku segera mandi, sarapan, dan menyiapkan buku untuk persiapan sekolah. Pukul 7 lebih tiga puluh menit bel sekolah berbunyi. Semua santri yang bersekolah berhamburan memenuhi halaman untuk melaksanakan apel terlebih dahulu. Setelah apel, semua santri yang bersekolah memenuhi kelasnya masing-masing.
                Tak lama kemudian Bu Ida, guru Bhs.Indonesia SMA memasuki kelas dan memberitahu bahwa akan ada lomba menulis puisi yang akan diadakan di SMA Muhammadiyah.
                Dua jam kemudian, bel sholat dhuha berbunyi pertanda pembelajaran sudah selesai. Siswi-siswi yang tidak berhalangan berhamburan keluar kelas dan mengambil wudhu untuk persiapan sholat dhuha berjama’ah.
               Karena di Pondokku ini tidak ada santri laki-lakinya, maka yang mengimami sholat adalah santri putri dan digilir per kelas. Per kelas itu menurut nomor absen. Dan hari ini aku berhalangan. Mungkin ini salah satu penyebab mood-ku memburuk.
               Alhamdulillah, meskipun aku jarang sholat jama’ah di musholla, tidak pernah mempunyai hutang sholat, Na’udzubillah. Syukurlah ada ukhti – ukhti (kakak – kakak perempuan) yang mengingatkanku untuk segera sholat.
              Saat jam sholat dhuha, aku segera menuju ke kantin untuk membeli makanan secukupnya agar bisa mengisi perutku yang sudah minta demo. Aku ke kantin lebih awal karena keburu ramai, aku paling benci kalau berdesak – desakan di kantin dan bayarnya harus ngantri. Tapi, juga namanya anak pondok. Nggak seru kalau nggak ada yang namanya ‘Ngantri’.
               Waktu menunjukkan pukul 11 siang, bel masuk kelas berbunyi pertanda jam istirahat selesai. Siswi-siswi yang selesai sholat dhuha dan menghabiskan waktu ke kantin atau hanya sekedar ngopi (ngobrol inspirasi) karena lagi puasa, memasuki kelasnya masing-masing karena pembelajaran akan dimulai lagi sampai pukul 12 siang, setelah itu sholat dhuhur, dan dimulai lagi sampai pukul 2 siang.
                 Tiba-tiba Dilla memukul ringan pundakku dari belakang.
            “Nin, nanti apa ada pemberitahuan poin denda  sholat bulan ini ?.”
            “Dengar-dengar iya, tapi nggak tahu juga. Aku nggak mau ngomongin itu Dil, sesak rasanya.Aku jarang sholat berjama’ah, itupun kalau disuruh atau pas kebetulan ada syetan baik yang nempel dipundakku.”                                                                                                                                                             
                                                ***
         Di lobi kamar blok Aisyah atau blok kamar bawah, terlihat segerombolan santri sedang berdesak-desakan untuk mencapai depan sendiri agar bisa melihat pengumuman. Em…. Bukan pengumuman, lebih tepatnya pemberitahuan poin denda sholat.
         Karena aku malas berdesak-desakan, aku menunggu keadaan mulai sepi sambil berbincang-bincang dengan Naila. Naila sepertinya denda sholatnya cuma sedikit, karena dia rajin jama’ah ke musholla, atau malah tidak punya denda sholat sama sekali….?. Wah…., aku kagum padanya yang rajin jama’ah.
         Setelah keadan mulai sepi, aku segera melihat kertas papan mading yang bertuliskan’Denda Sholat Bulan Maret’. Aku pun mencari namaku, tanganku menelusuri kertas di depan dan, Yap… ketemu. Betapa terkejutnya aku, poinku adalah 8. Eits…. Tapi jangan kira ini sedikit, sekarang mari kita hitung.
 8 X 5000 = 40.000.
            “Masyaallah, sedikitnya poinku, kalau begini terus bisa-bisa uang jajanku berkurang hanya untuk membayar denda sholat.” Ucapku lirih sambil mengelus dada.
             “Sudahlah nin, masih mending kamu 8. Lihat nih punyaku 12 poin X 5000 = 60.000. Masih mendingan kamu kan ?.” Ucap Intan.
             “Ini tidak bisa dikurangi apa dendanya? Kalau begini terus nanti pengurus Sie Keibadahan untung banyak dong!.”
             “Nin, sepertinya ini tidak bisa diganti, kecuali kita lapor ke ning Aina (“ning” yaitu sebutan untuk putri Bu Nyai) supaya ning Aina melaporkan ke Bu Nyai. Sie Keibadahan tidak boleh semena-mena sama rakyatnya sendiri.”
             “Tapi kita cuma bisa apa, pengurus saja bukan. Sudahlah kita terima keputusan ini dulu, anggap saja sebagai bentuk sedekah kita. Yah…. Semoga saja nanti ada pemberitahuan lagi agar denda per sholatnya dikurangi.”
             “Amin…..” Ucap Intan lirih.
           Beberapa menit kemudian,terdengar murrotal isya’. Subhanallah, suara Syaikh Misyari Rasyid Al Afasy mengalun begitu merdu dalam membacakan surat Al Insan.
          Aku naik ke lantai atas dan menuju kamar untuk mengistirahatkan sebentar kakiku yang sedikit pegal-pegal. Aku mempersiapkan tambahan untuk nanti dan minta tolong Fatma membacakan setengah halaman dari Surat Thaha. Yakni ayat 22-37.
         Di sini kalau lagi berhalangan atau haidh, tetap bisa menghafalkan Al Qur’an dengan catatan harus dibacakan dulu oleh teman kita, tapi pilih teman yang hafalannya sama dengan kita. Setelah itu kita menyimak dengan seksama ayat-ayatnya.
         Tetapi tetap tidak boleh membaca surat atau ayat yang belum kita hafalkan. Dan semua santri disini yang berhalangan memakai Al Qur’an tafsir arab.

          Suara adzan berkumandang melalui masjid dekat pondokku dan sound yang ada di setiap kubu asrama. Aku menghentikan aktifitasku dan menjawab adzan, saat lafadz 'hayya ‘alassholah.'
berkumandang aku menyebut nama orang yang aku kangeni. Kata ustadzahku, barang siapa yang menyebutkan nama orang yang kita kangeni dengan berteriak ketika lafadz ini berkumandang, maka orang yang kita sebut namanya juga akan mendengar panggilan kita.
          Selesai adzan, tak lama kemudian terdengar suara kentong (pertanda iqomah berkumandang). Semua santri yang sudah mengambil wudhu, segera memenuhi musholla untuk melaksanakan sholat isya’ berjama’ah.
         Selesai sholat, tak lama kemudian bel bimbigan tahfidz berbunyi, seluruh santri segera memasuki kelas tahfidznya masing-masing dan siap untuk menambah.
         Target hafalan pencapaian di Ponpes Putri Al Fath ini adalah 15 juz dalam waktu 3 tahun dan 30 juz dalam waktu 6 tahun. Alhamdulillah…. dalam waktu empat tahun ini aku sudah menghafal sesuai dengan target. Tapi, tantangannya kita harus menjaga hafalan yang sudah dihafalkan, dan itu tak semudah menambah hafalan baru.
        Dengan adanya kesibukan di sekolah, muroja’ah pun jadi sedikit terganggu. Oleh karena itu, Ibuk menempatkan jadwal muroja’ah atau mengulang hafalan yang sudah dihafalkan di sore hari. Waktunya pun juga terbatas hanya satu jam.
        Oleh karena itu, diadakan evaluasi deresan mingguan dan bulanan. Evaluasi mingguan dilakukan setiap minggunya, sedangkan evaluasi bulanan dilakukan setiap 6 bulan sekali, yaitu dengan diadakan ujian tahfidz.
       
                                                 ***
         Sarapan nasi tempe dengan sambal tomat yang dituang di atasnya dan mentimun sebagai pelengkap menu pagi ini membuatku sangat lahap makan.
         Seperti biasa, setelah sarapan aku menyiapkan buku pelajaran. Dan tepat pukul tujuh lebih tiga puluh menit, aku turun untuk apel terlebih dahulu dan masuk kelas. Kebetulan kelasku berada di lantai bawah, tempatnya strategis karena dekat dengan kantor guru, musholla, perpustakaan, dan kantin.  Jadi, mudah banget kalau mau apa-apa tidak jauh juga dari kelas.
         Ketua kelasku mengumumkan bahwa hari ini Bu Nabilla, guru mapel Seni Budaya tidak bisa rawuh (datang) dikarenakan anaknya lagi sakit.
        Tiba-tiba Zahro’ menghampiriku dengan sedikit tergesa-gesa.
             “Anin, kamu dipanggil Mbak Nadia, ditunggu di depan kelas, cepetan katanya.”
             “Ya udah, thanks ya ro’.”
        Tumben Mbak Nadia nyariin aku….?
              “Ada apa Mbak Nad ?.” Tanyaku penasaran.
              “Anin, kita ditimbali Ibuk sekarang juga, ayo cepetan sudah ditunggu.”
        Aku mengikuti langkah Mbak Nadia yang berjalan ke arah ndalem (rumah Bu Nyai). Aku berdo’a dalam hati semoga tidak terjadi hal-hal yang buruk kepadaku ‘Lahaulawalaquwwata illabillah’.
        Aku dan Mbak Nadia sudah berada di depan pintu ndalem, di situ sudah ada Ibuk Nyai yang duduk dengan membawa kertas di tangannya.
           “Assalamu’alaikum wr.wb.”
          “Wa’alaikumussalam wr.wb, sini nduk (sebutan anak perempuan) masuk dulu.”
         Aku pun duduk di karpet bawah dengan Mbak Nadia disampingku.
             Suasana hening sebentar
           “Anin, sampean umure berapa….? (kamu umurnya berapa…?).”
           “Kula (saya) 15 tahun.”
           “Sampean Nadia, umure berapa…?.”
           “Kula 18 tahun.”
           “Anin, Nadia. Ini sebentar lagi ada lomba MTQ yang diadakan di MAN Kota. Kalian saya panggil di sini untuk mengikuti lomba MHQ. Anin, sampean ikut yang 10 juz, sedangkan Nadia ikut yang 20 juz.”
        Aku dan Mbak Nadia tidak berani angkat bicara, kami hanya menunduk. Menunggu Ibuk dawuh (berkata) lagi.
          “Ini lombanya tanggal 4 September, sekarang tanggal 24 Agustus, berarti kurang berapa hari ?.”
         “Kirang (Kurang) 20 hari, buk.” Jawab Mbak Nadia.
        “Waktu 20 hari ini sampean gunakne sebaik mungkin kanggo muroja’ah, nanti kalau sudah H-5 sampean nggak perlu ikut kegiatan pondok untuk sementara. Setiap pagi muroja’ahe dek sini saja, nanti kalau sudah selesai akan ibuk bedeki kalian dengan sambung ayat.”
       “Enggeh (Ya).” Jawab kami bersamaan.
      “Ya sudah, kalian boleh kembali ke kelas lagi.”
       Kami mencium tangan ibuk secara bergantian dan mengucap salam, lalu keluar dari ndalem.
      “Mbak Nad, ini aku dikasih amanat sama ibuk, nanti kalau aku nggak bisa gimana ?.”
      “Kamu jangan berpikir pesimis dulu, kan belum dijalani. Sudahlah jalani aja dulu.”
      “Oke, aku harus optimis.Bismillahirrohmanirrohim.
      “Nah, gitu dong. Ya sudah aku masuk kelas dulu, nanti kalau ada informasi lagi, hubungi Mbak Nadia.”
     “Oke.”
          Aku memasuki kelas dan ternyata Pak Eko, guru MTK SMA sedang menuliskan rumus di papan tulis.
***
     Hari-hari telah ku jalani, setiap sore hari aku dan Mbak Nadia dilatih sambung ayat oleh ibuk. Tak lupa juga aku membaca amalan surah Al Waqiah yang sudah lama ini tidak kubaca, karena salah satu manfaatnya adalah dikabulkan doanya yang berkaitan dengan rezeki. Siapa tau saja aku nanti menang dan itu merupakan salah satu bentuk rezeki yang diberikan oleh Allah SWT untukku. Tetapi seharusnya aku meniatkan lomba ini untuk dakwah dan mencari ridho illahi bukan hanya untuk mencari kemenangan saja.
      Waktu sambangan (kunjungan keluarga), aku memberitahu bundaku perihal lomba ini. Bunda menasehatiku bahwa ‘menang kalah dalam suatu perlombaan itu wajar, sampean jangan mikir aku harus menang, tapi berpikirlah bahwa mencari ridho  Bu Nyai itu lebih penting.’
     Hingga tiba saatnya besok mengikuti lomba, semalaman aku yang biasanya tenang menghadapi apa saja menjadi gelisah. Karena banyak teman yang mengharapkan kemenangan dariku dan mbak Nadia.
      Tibalah hari ini lombanya dimulai, aku dan Mbak Nadia diantarkan ke sebuah ruangan, dimana disitu cabang MHQ diadakan.
       Alhamdulillah, aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sambung ayat dari dewan juri dengan lancar. Tinggal menunggu pengumuman menang dari panitia. Pengumuman pemenang lomba dibacakan pada penutupan MTQ di panggung utama. Saat panitia menyebutkan pemenang pada cabang MHQ, aku memperbanyak sholawat dan dzikir.Ada rasa takut menyergapi dada. Takut kalau nanti pengumumannya mengecewakan ibuk dan bundaku.
           “Juara 3 MTQ cabang MHQ 10 juz adalah Kayla Nisrina. Juara 2 MTQ cabang MHQ 10 juz adalah Muhammad Ardiansyah. Juara 1 MTQ cabang MHQ 10 juz adalah Anindya Aisya Al Mumtaza.”
          “ Alhamdulillah bunda, aku mendapatkan juara 1. Terima kasih Ya Allah, engkau telah mengabulkan doa hamba, kedua orang tua hamba, dan guru-guru hamba.”
        Alhamdulillah aku mendapatkan piala, piagam, dan uang pembinaan.
***
                    1 Tahun Kemudian…..
         Mbak Ilma memberitahuku bahwa aku dan Mbak Nadia ditimbali Ibuk. Aku segera menghampiri Mbak Nadia dan menuju ndalem. Dari depan pintu, terlihat Ibuk sedang muroja’ah. Ibuk yang menyadari kedatangan kami, menghentikan aktifitasnya dan meminta kami untuk masuk.
         Kami mengucap salam lalu masuk ndalem dan duduk di karpet. Terlihat sebuah undangan di tangan beliau, ternyata undangan itu ditujukan kepada kami. Ibuk menyerahkan undangan tersebut kepada kami.
          “Nduk (Panggilan untuk anak perempuan), ini sampean dapat undangan dari Pemerintah Kota Malang untuk mengikuti pembinaan tahap satu dan seleksi di Pondok Pesantren Deen Assalam.”
           Hening……
         Terlihat ibuk yang menahan nafas dan menghembuskannya perlahan.
          “Tapi, umur kamu Anin sudah tidak memenuhi kriteria. Karena umur kamu 15 tahun lebih 4 bulan. Sedangkan batas maksimalnya adalah 15 tahun kurang 1 hari. Dan kamu Nadia, umur kamu 18 tahun kurang 2 bulan, sedangkan batas maksimalnya adalah 17 tahun kurang 1 hari. Tetapi, sampean di undangan ini diusahakan mengikuti pembinaan. Jangan lupa untuk muroja’ah lagi, ibuk tidak bisa menyimak, jadi kalian latihan sendiri. Dan akte kelahiran sama piagam yang kemarin di foto copy dulu.”
           “Nggeh.” Jawab kami bersamaan.
            Aku menangkap raut wajah beliau menjelaskan bahwa beliau sebenarnya tidak mengizinkan aku dan Mbak Nadia untuk mengikuti pembinaan ini, ada sesuatu hal yang disembunyikan dari beliau. Tapi aku harus optimis, tadi aja ibuk sudah mengizinkan, jadi aku tidak boleh menyia-nyiakannya, aku tidak boleh mengecewakan beliau.
             Aku kembali mengamalkan bacaan surah Al Waqi’ah yang sudah lama ini tidak kubaca.
           Hingga tiba saatnya hari ini pembinaan diadakan di Pondok Pesantren Deen Assalam. Pembinaannya selama 2 hari. Di hari pertama pembinaan, peserta diberi pengarahan tentang seleksi yang akan diadakan pada keesokan harinya. Dan di dalam pengarahan ini, diberitahukan bahwa maqro’ yang digunakan untuk MHQ 10 juz tilawah adalah juz 1-10. Sedangkan maqro’ yang kupelajari adalah surah Al Hijr juz 14. Bagaimana ini……..? Tanyaku pada diri sendiri. Aku bingung harus bagaimana, aku juga tidak bisa dalam hal maqro’ karena ini bukan bakatku.
           Selesai pengarahan, peserta disuruh Ishoma (Istirahat, sholat, dan makan) terlebih dahulu. Aku menghampiri Mbak Nadia yang sedang berbincang-bincang dengan seseorang di depan asrama putri.
            “Anin, perkenalkan ini Firda, dia temenku di SMP dulu.”
          Aku pun menjabat tangannya.
           “Anin, adik kelasnya Mbk. Nadia.” Jawabku.
          “Mbk. Nad, gimana ini maqro’nya harus juz 1-10 untuk MHQ 10 juz, sedangkan yang ku bisa hanya surah Al Hijr ayat 1-8.”
          “Aku juga tidak terlalu tahu tentang maqro’, yang ku bisa hanya surah Al Mu’minun ayat 1-6.”
          “Bagaimana kalau Anin pinjem Handphone ku dulu buat cari maqro’, mumpung paketanku masih banyak.”
         “Iya nin, pinjam Firda dulu, besok sudah harus tampil, kan ?.”
         “ Ya sudah kalau begitu, terima kasih ya, Mbak Firda.”
        Tak lama kemudian, para peserta disuruh masuk ruangan lagi untuk pembinaan lagi.
          Para peserta diuji satu-satu untuk latihan dan ditampilkan didepan juri dari Pemerintah Kota Malang. Sedangkan besok adalah seleksi yang sesungguhnya dari provinsi langsung.
         Aku untuk sementara ini menggunakan surah Al Maidah ayat 90-91. Aku sudah tidak memikirkan lagi ini betul apa salah, yang terpenting aku sudah maju. Lagian ini nanti juri juga akan mengoreksi dan mengomentari mana yang salah dan mana yang betul agar besok sudah siap untuk tampil di depan juri dari provinsi.
       Saat giliran aku maju, aku segera menempati kursi yang ada di depan juri. Aku membacakan surah Al Maidah yang tadi. Menginjak ayat pertama, juri berkata ‘Itu bukan qiro’.’ Aku tidak faham apa yang dimaksud juri, mungkin juri memintaku mengulang dari awal. Aku pun mengulang dari awal, belum sampai waqof kedua, lagi-lagi juri berkata ‘itu bukan qiro’.’ ‘Sebenarnya apa sih yang dimaksud jurinya ?. Aku nggak faham.’ Batinku sambil memandang ke juri.
       Akhirnya juri pun menyuruh aku melanjutkan saja bacaannya. Setelah bacaanku selesai, juri membacakan ayat untuk sambung ayat dan aku meneruskan lanjutannya. Ada tiga soal sambung ayat, di soal pertama Alhamdulillah lancar, di soal kedua aku lupa terusannya ‘apa mungkin ini efek yang tadi ?.’ Tanyaku pada diri sendiri.
      Juri mengulang lagi soalnya, tapi percuma saja aku tetap tidak bisa menjawab karena sekarang suasana hatiku sudah sangat buruk. Dan di soal yang ketiga, aku menjawab tapi sedikit terbata-bata. Kalau boleh meminta, aku ingin menangis sekarang juga di depan juri. Tapi aku nggak boleh terlihat lemah di depan juri, aku harus kuat. ‘Ya Allah, apakah ini bentuk cobaan yang Engkau berikan kepadaku ?.’ Tanyaku dalam hati.
      Setelah itu juri memberi komentar kepadaku bahwa ternyata yang kubaca tadi bukan qiro’ melainkan tilawah.
      Juri juga bertanya “Sampean yang juara satu tahun kemarin ?.”
      Aku hanya menjawab “Nggeh.”
     Tapi aku tahu, bahwa juri bertanya demikian dengan nada meremehkan. Setelah juri selesai mengoreksi, aku keluar dari kelas dan duduk di teras musholla. Di sini, aku sudah nggak bisa menahan air mataku yang ingin jatuh. Aku menangis, tapi aku mencoba mengontrol agar tidak ada yang tahu bahwa aku sedang menangis.
      Tak lama kemudian, ada yang memegang pundakku dari belakang, aku  tahu ini pasti Mbak Nadia. Dia mengambil duduk disampingku dan menenangkanku.
      “Mbak Nad, gimana ini aku takut mengecewakan ibuk.” Ucapku sambil sesenggukan.
     “ Sudahlah untuk apa ditangisi, menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Ingat, jika kau gagal mungkin Allah sudah menyiapkan yang lebih baik untukmu. Mendingan sekarang kamu pinjam Hp Firda untuk cari maqro’, sekarang dia ada di asrama.”
      “Terima kasih ya Mbak Nad.”
          Malamnya, aku tidak bisa tidur karena memikirkan maqro’ yang harus kuhafalkan. Tinggal beberapa orang yang belum tidur, aku mendengarkan qiro’ surah Al Baqoroh ayat 1-5. Setelah dirasa cukup, aku mengambil Al Qur’anku di meja dan membaca surah Al Waqi’ah sambil menghayati. Tak terasa air mataku jatuh tanpa bisa dibendung, untung saja semua sudah tidur. Aku sadar bahwa mungkin ini bukan rezekiku, aku yakin Allah pasti akan membalas dengan yang lebih baik. Sekarang aku sedang diuji untuk bersabar, aku berdo’a kepada Allah SWT. supaya besok pembinaan berjalan dengan lancar. Jam dinding menunjukkan pukul 12.30, aku beranjak tidur.                            
        Keesokan harinya, tibalah semua peserta untuk di seleksi oleh juri dari provinsi. Saat giliranku tiba, aku menampilkan qiro’ yang sudah aku pelajari sendiri kemarin malam. Aku hanya bisa menjawab 3 dari 5 soal sambung ayat. Alhamdulillah, setidaknya bisa menjawab meskipun tidak semuanya.
      Aku tahu mungkin kali ini aku tidak lulus seleksi, karena belum ada persiapan sama sekali untuk latihan qiro'. Selain itu, muroja'ahku juga kurang. Ingat pesannya Mbak Nadia, pasti Allah sudah menyiapkan yang terbaik untukku.
       Aku juga teringat raut wajah ibuk saat dawuh kemarin lusa. Apa ini perwujudan dari tanda raut wajah beliau ?. 
      Selesai pembinaan, aku dan Mbak Nadia sudah dijemput oleh ustadzahku. Kami pun langsung pulang, ada perasaan lega yang menyergapi dada. Entah lega karena pembinaan sudah selesai atau karena tadi aku menjawab dengan lancar.
     Hari ini, ada sambangan di pondokku. Sesampainya di pondok, aku mencari keluargaku di mana sekarang sudah menunggu. Ternyata mereka ada di musholla, aku segera menghampiri. Aku menjabat tangan bunda dan ayah, setelah itu aku menceritakan pengalamanku kemarin.
     Bunda berpesan kepadaku “ Kegagalan itu ada bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dipelajari. Lihatlah orang di atasmu agar kamu terinspirasi dan lihatlah orang di bawahmu agar kamu bersyukur. Jangan lupa untuk selalu muroja’ah meskipun lombanya sudah selesai. Dan carilah ridho Bu Nyai sebanyak-banyaknya, itu kunci sukses kamu di masa depan.”
     Aku bisa belajar dari pengalamanku kemarin ‘seberapa berat rintangan yang kita hadapi, jangan pernah menyerah. Tunjukkan pada dunia bahwa kamu bisa dan carilah ridho Bu Nyai sebanyak-banyaknya, karena kalau beliau ridho, hidupmu akan tenteram.'
***
      Anin pun membaca surah Al Waqi’ah dan menghayatinya. Tak terasa air matanya jatuh, dia teringat pesan bundanya. Sekarang dia sadar bahwa selama ini sholat dan muroja’ahnya selalu lalai, karena kesibukannya. Dia memohon ampunan kepada Allah, dan sekarang dia harus bisa membagi waktu untuk bekerja dan muroja’ah. Dia juga bersyukur kepada Allah SWT. karena sudah memberikan nikmat yang sangat berlimpah kepadanya. Dia sadar, mungkin ini bentuk peringatan Allah SWT. karena sudah melalaikan sholat dan muroja’ahnya, padahal dia sendiri seorang hafidzoh.
      “Ya Allah, terima kasih Engkau telah memberikan hamba kesempatan bertaubat kepada-Mu sebelum semuanya terlambat.”
       

Cerpen Santri Keren "Al Fath"

                                                              AL FATH    ‘ Menjadi kuat bisa darimana saja. Bahkan ketika kau terja...